Implementasi Pembatas Dosis (Dose Constraint) di Fasilitas Sumber Radiasi Pengion

Pendahuluan

Apa yang dimaksud dengan pembatas dosis?

Sebelum kita definisikan secara utuh mengenai pembatas dosis, berikut ini adalah beberapa ciri khas dari pembatas dosis:
  1. Merupakan sesuatu yang prospektif, artinya bisa diharapkan, yang direncanakan, yang dapat terjadi, yang ada prospeknya, atau yang harus dipantau atau ditindaklanjuti untuk jangka waktu tertentu dari hasil catatan rekaman yang rutin dari tiap kejadian.
  2. Terkait dengan dosis individu atau risiko individu
  3. Digunakan untuk situasi paparan yang direncanakan
  4. Salah satu parameter optimisasi proteksi, artinya digunakan sebagai batasan untuk setiap pilihan langkah optimisasi proteksi.

Setelah mengetahui beberapa ciri-ciri di atas, maka diharapkan kita dapat mendefinisikan apa itu pembatas dosis dengan tepat.

Selain definisi, dari beberapa ciri di atas juga dapat diketahui fungsi dan penerapan pembatas dosis yaitu untuk digunakan pada situasi paparan yang direncanakan dan sebagai salah satu parameter optimisasi proteksi.

Artinya, hal ini penting untuk dicatat dan diingat bahwa pembatas dosis hanya berguna pada tahap disain fasilitas baru (tahapan situasi paparan yang direncanakan) dan saat fasilitas tersebut beroperasi (salah satu parameter optimisasi proteksi) sehingga terpatuhinya nilai batas dosis (NBD) sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Penetapan Pembatas Dosis

BAPETEN dalam peraturan yang dibuatnya menetapkan bahwa pembatas dosis pada tahap disain adalah ½ (setengah) dari NBD.


Pada tahapan operasi fasilitas, BAPETEN juga menetapkan bahwa pembatas dosis untuk pekerja radiasi ditetapkan oleh pemegang izin dan mendapat persetujuan dari Kepala BAPETEN. Dalam menetapkan pembatas dosis untuk pekerja radiasi pada tahap operasi harus mempertimbangkan kontribusi dosis tiap individu dari masing-masing fasilitas atau instalasi.

Bagaimana cara menetapkan besaran pembatas dosis? Salah satunya adalah dengan mengikuti contoh berikut.
Contohnya, dari hasil penggunaan dosimeter personil dalam beberapa tahun terakhir (2 atau 3 tahun) diperoleh data dari setiap pekerja radiasi. Data tersebut diyakinkan berasal dari praktek yang baik dengan mematuhi semua prosedur dan standar proteksi. Data tersebut sebagaimana Tabel di bawah ini.


Dari hasil pencatatan dosis radiasi yang diterima oleh pekerja radiasi pada satu fasilitas dalam waktu 3 tahun adalah ditunjukkan pada tabel di atas. Salah satu cara menetapkan pembatas dosis adalah dengan menggunakan nilai kuartil 3 (atau 75%) dari sebaran dosis yang diterima oleh pekerja radiasi. Sesuai dengan tabel di atas, ada beberapa pilihan nilai pembatas dosis yang diperoleh yaitu 1,27 mSv/tahun; 1,45 mSv/tahun; dan 1,2 mSv/tahun. Jika semua data digabung untuk memperoleh 1 nilai pembatas dosis maka diperoleh nilai 1,3 mSv/tahun.

Nah, pertanyaannya selanjutnya adalah bagaimana dengan nilai yang 25% di atas dari nilai pembatas dosis terpilih?
Inilah fungsi optimisasi proteksi, dengan ditetapkannya 75% sebagai pembatas dosis maka yang 25% harus menjalani langkah-langkah yang dipilih sebagai upaya optimisasi proteksi sehingga diharapkan yang dapat 25% tersebut dapat turun nilainya berada di bawah atau sama dengan pembatas dosis yang telah ditetapkan. Demikian seterusnya, disetiap periode reviu dihasilkan pembatas dosis baru yang lebih rendah dari pembatas dosis sebelumnya sehingga upaya optimisasi itu dapat senantiasa berjalan untuk mewujudkan goal-nya yaitu mereduksi dosis serendah mungkin yang dapat dicapai sebagaimana prinsip “as low as reasonably achievable” (ALARA).

Berbeda dengan pembatas dosis untuk pekerja radiasi, dalam hal pembatas dosis untuk anggota masyarakat pada tahap operasi ditetapkan oleh badan pengawas atau pemerintah. Oleh karenanya, BAPETEN telah menetapkan bahwa pembatas dosis untuk anggota masyarakat pada tahap operasi di satu fasilitas adalah sebesar 0,3 mSv/tahun.

Pemenuhan Pembatas Dosis

Setelah semua disain pembatas dosis dibuat dan ditetapkan kemudian dinyatakan berlaku di fasilitas maka akan muncul pertanyaan selanjutnya yaitu bagaimana memastikan pembatas dosis tersebut dipatuhi?

Pertama, cara memastikan dipatuhinya pembatas dosis pada tahap disain. Secara rutin atau berkala dilakukan pengukuran paparan radiasi disekitar ruang radiasi. hal ini bertujuan untuk mengkonfirmasi pemenuhan pembatas dosis untuk daerah pekerja radiasi dan daerah anggota masyarakat disekitar ruang radiasi.

Analisis hasil ukur:
  1. Jika hasil ukur laju paparan radiasi pada daerah pekerja radiasi kurang dari 20 µSv/jam maka masih masuk dalam kategori daerah pekerja radiasi.
  2. Jika hasil ukurnya lebih dari 20 µSv/jam, lakukan koreksi dengan beban kerja dan faktor okupansi. Jika hasilnya masih di atas 20 µSv/jam maka masuk ke daerah yang perlu langkah proteksi, seperti pengurangan beban kerja, arah orientasi berkas, pengetatan faktor okupansi, atau pemberlakuan daerah terlarang untuk diakses atau jika perlu dilakukan penambahan penahan radiasi.
  3. Jika hasil ukur laju paparan radiasi pada daerah anggota masyarakat kurang dari 7,5 µSv/jam maka masih masuk ke dalam kategori daerah anggota masyarakat.
  4. Jika hasil ukurnya lebih dari 7,5 µSv/jam, lakukan koreksi dengan beban kerja dan faktor okupansi. Jika hasilnya masih di atas 7,5 µSv/jam maka masuk ke daerah yang perlu langkah proteksi, seperti peningkatan kategori menjadi daerah pekerja radiasi, pengetatan faktor okupansi, atau pemberlakuan daerah terbatas untuk diakses atau jika perlu dilakukan penambahan penahan radiasi.

Kedua, cara memastikan penerapan pembatas dosis pada tahapan operasi atau penggunaan fasilitas. Secara rutin atau berkala dilakukan pemantauan dan rekaman dosis yang diterima oleh personil pekerja radiasi. Kemudian, hasilnya dievaluasi. Jika diperoleh hasil yang berpotensi melebihi pembatas dosis maka perlu dilakukan reviu dan asesmen. Asesmen yang dilakukan terkait apakah personil sudah bekerja sesuai dengan standar dan prosedur proteksi radiasi sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemegang izin? Dan apakah ada kejadian atau insiden selama operasi atau penggunaan fasilitas? Apakah ada perubahan disain beban kerja fasilitas?

Analisisnya:
  1. Jika hasilnya tidak ada pelanggaran standar dan prosedur proteksi namun terjadi insiden atau kejadian selama operasi fasilitas maka tidak perlu dilakukan perubahan nilai pembatas dosis. Namun insiden atau kejadian tersebut harus di masukkan ke dalam rekaman untuk melakukan perbaikan langkah proteksi jika terjadi insiden.
  2. Jika hasilnya tidak ada pelanggaran prosedur dan standar proteksi namun terjadi perubahan disain beban kerja maka nilai pembatas dosis dapat diubah dengan disesuaikan pada disain beban kerja baru.

Selain itu, karena salah satu ciri dari pembatas dosis itu adalah prospektif yang menuntut adanya pemantauan dan tindaklanjut untuk jangka waktu tertentu dari hasil catatan rekaman yang rutin dari tiap kejadian, maka secara rutin dan berkala harus di reviu dan dievaluasi. Meskipun hasilnya nilai pembatas dosis tidak terlampauai.

Oleh sebab nilai pembatas dosis itu adalah salah satu parameter optimisasi proteksi yang mengharuskan menunjukkan upaya penerimaan dosis radiasi seminimal mungkin dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial maka jika nilai pembatas dosis tidak terlampauai dalam periode tertentu, langkah selanjutnya adalah melakukan pertimbangan penurunan nilai pembatas dosis untuk periode selanjutnya.

Bagaimana dengan pembatas dosis untuk anggota masyarakat pada tahapan operasi atau penggunaan fasilitas? Pada daerah yang diidentifikasi dan ditetapkan sebagai daerah anggota masyarakat harus juga secara rutin atau berkala dilakukan pengukuran paparan radiasi. Analisisnya sama dengan yang dilakukan pada tahap disain untuk pemenuhan pembatas dosis bagi anggota masyarakat.

Kesimpulan

Tinjauan dan uraian di atas dapat diberlakukan untuk fasilitas yang menggunakan sumber radiasi pengion dan zat radioaktif di fasilitas radiologi diagnostik dan radioterapi.

Pada fasilitas radiologi diagnostik dan radiologi intervensional dapat memiliki nilai pembatas dosis yang berbeda. Begitu pula pada radioterapi, fasilitas teleterapi dan brakiterapi dapat memiliki nilai pembatas dosis yang berbeda pula.

Demikian semoga bermanfaat…..

Pustaka
1. GSR Part 3 IAEA, 2014
2. Perka BAPETEN No. 3 Tahun 2013
3. Perka BAPETEN No. 4 Tahun 2013
LihatTutupKomentar