Penggunaan Pesawat Sinar-X Diagnostik dalam Bus

Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat pada modalitas radiasi pengion untuk kebutuhan diagnostik medik menunjukkan bahwa kebutuhan diagnostik yang tepat, pelayanan yang mudah, dan terjangkau makin diperhitungkan.

Keberadaan teknologi pencitraan dengan sumber radiasi pengion yang mudah terjangkau untuk peningkatan pelayanan publik menuntut adanya penyesuaian terhadap pemenuhan kondisi persyaratan keselamatan radiasi dan peraturan lain yang terkait. Pada sisi proteksi dan keselamatan radiasi, perkembangan dan kemajuan teknologi pelayanan dengan sumber radiasi pengion dilakukan untuk memenuhi tuntutan adanya diagnostik yang tepat dan harus memenuhi tuntutan bahwa risiko radiasi yang ditimbulkan seminimal mungkin sesuai konsep As Low As Reasonably Achievable (ALARA).

Pertanyaannya, bagaimana dengan keberadaan dan pengadaan pesawat sinar-X dalam bus atau mini bus ini untuk meningkatkan pelayanan yang mudah dan terjangkau?

Berikut ini akan diuraikan beberapa hal khususnya terkait aspek proteksi dan keselamatan radiasi dari pesawat sinar-X dalam bus atau mini bus.

Regulasi terkait Pesawat Sinar-X dalam Bus

Pada Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN No. 8 Tahun 2011, terminologi pesawat sinar-X dalam bus masuk ke dalam terminologi pesawat sinar-X mobile dalam mobile station. Definisi pesawat sinar-X mobile dalam mobile station adalah pesawat sinar-X yang terpasang secara permanen di dalam mobil sehingga dapat dipergunakan untuk pemeriksaan umum secara rutin di beberapa tempat.

Pada definisi tersebut secara tersurat dengan jelas memberikan petunjuk bahwa pesawat sinar-X dalam bus dapat digunakan untuk pemeriksaan umum secara rutin. Pesawat sinar-X yang dapat digunakan untuk pemeriksaan rutin minimal harus berjenis mobile. Hal ini diperkuat dengan ketentuan pada Pasal 46 Perka BAPETEN No. 8 Tahun 2011. Catatan diberikan dalam hal penggunaan pesawat sinar-X dalam bus ini yaitu persyaratan ukuran ruangan harus sesuai spesifikasi teknik dari pabrik atau ketentuan standar internasional.

Penggunaan pesawat sinar-X mobile merupakan pilihan cadangan apabila pesawat sinar-X terpasang tetap atau fixed atau stationary tidak berfungsi atau difungsikan. Artinya, ada pembatasan penggunaan pesawat sinar-X mobile. Pesawat sinar-X mobile diperuntukkan bagi pasien yang kritis dan tidak dapat dipindahkan dari ruang perawatan. Jika dilakukan pemindahan pasien ke peralatan yang terpasang tetap dapat menimbulkan risiko bagi pasien. Hal ini sesuai dengan Perka BAPETEN No. 8 Tahun 2011.

Analogi dengan pesawat sinar-X mobile, penggunaan pesawat sinar-X dalam bus memiliki keuntungan untuk menjangkau pasien yang karena kondisi tertentu tidak dapat menjangkau rumah sakit. Yang dimaksud kondisi tertentu adalah dapat berupa kondisi pasien yang kritis dan tidak dapat dipindahkan, kondisi wilayah yang sangat sulit untuk menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan terdekat, kebutuhan kesehatan, dan pola penyakit.

Selain keuntungan, ada potensi aspek kerugian dari pesawat sinar-X dalam bus ini, salah satunya adalah ketahanan dan kondisi fisik peralatan terhadap perpindahan atau perubahan posisi alat, sehingga dibutuhkan sebuah jaminan dari pemegang izin dan vendor untuk selalu memastikan ketahanan dan kondisi fisik peralatan selalu terjaga sesuai spesifikasinya.

Sesuai dengan potensi keuntungan dan kerugian, pembatasan penggunaan pesawat sinar-X dalam bus tersebut harus tetap menjadi bahan pertimbangan meskipun pesawat sinar-X mobile dalam mobile station dapat digunakan untuk pemeriksaan umum secara rutin. Hal ini merupakan implementasi dari pendekatan bertingkat dalam justifikasi proteksi dan keselamatan radiasi dan nilai norma etika.

Aspek Proteksi dan Keselamatan Radiasi

Proteksi dan keselamatan radiasi pada kegiatan diagnostik medik yang dimaksud disini adalah tindakan yang dilakukan untuk melindungi pasien, pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi. Artinya, tindakan untuk meminimalkan dosis yang diterima oleh pekerja, pasien, anggota masyarakat dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga kualitas diagnostik yang memadai.

Secara umum, paparan radiasi dari sinar-X pada pekerja radiasi dapat diminimalkan dengan:
  1. mengatur posisi pekerja radiasi dengan tabung sinar-X dan pasien; dan/atau
  2. menggunakan penahan radiasi, dapat berupa penahan permanen (ruang radiasi) atau penahan radiasi portabel.

Paparan radiasi pada pasien dapat diminimalkan (diantaranya) dengan:
  1. mengatur jarak pasien dengan tabung sinar-X;
  2. menggunakan kondisi penyinaran dengan teknik kV tinggi;
  3. menjaga mutu kinerja pesawat sinar-X tetap prima.

Sedangkan untuk anggota masyarakat, paparan radiasi dapat diminimalkan dengan penggunaan penahan radiasi dan pembatasan daerah kerja.

Secara khusus, salah satu langkah proteksi dan keselamatan radiasi pada penggunaan pesawat sinar-X dalam bus ditentukan dari disain ruang radiasi sehingga hanya bus tertentu yang dapat digunakan untuk penempatan pesawat sinar-X.

Pada disain ruang radiasi dalam bus harus memperhatikan hal-hal berikut:
  1. Jenis pesawat sinar-X yang akan dipasang dalam bus

  2. Jenis dan spesifikasi pesawat sinar-X yang akan dipasang dalam bus mempengaruhi parameter-parameter yang dibutuhkan dan metode perhitungan disain ruangnya. Misalnya, radiografi umum menggunakan data kerma udara per pasien, dan CT Scan menggunakan data CTDI dan/atau DLP.

  3. pembagian daerah kerja;

  4. Pembagian daerah kerja dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai daerah untuk pekerja radiasi dan daerah untuk anggota masyarakat. Selain itu untuk menerapkan pembatas dosis dalam tahap disain ruang radiasi.

    Pada Perka BAPETEN No. 4 Tahun 2013, kita mengenal 2 (dua) daerah kerja yaitu daerah pengendalian dan daerah supervisi. Kedua daerah kerja tersebut merupakan daerah pekerja radiasi dan tidak termasuk daerah anggota masyarakat. Sedangkan disain ruang radiasi membutuhkan pembedaan yang jelas antara daerah pekerja radiasi dan daerah anggota masyarakat.

    Oleh karena itu dibutuhkan disain dosis yang diinginkan (P, shielding design goal) untuk pekerja radiasi dan anggota masyarakat. Nilai P dapat ditentukan melalui pembatas dosis pada tahap disain sebagaimana dituangkan dalam Perka BAPETEN No. 8 Tahun 2011. Pembatas dosis untuk pekerja radiasi adalah 0,2 mSv/minggu dan untuk anggota masyarakat adalah 0,01 mSv/minggu.

  5. jarak dari tabung sinar-X ke titik pengamatan;

  6. Jarak dari tabung sinar-X ke titik pengamatan harus ditentukan, yaitu jarak dari tabung sinar-X ke dinding penahan radiasi di tambah 30 cm dari dinding terluar. Jarak ini berguna untuk menentukan besarnya dosis yang sampai pada titik pengamatan dan dibandingkan dengan nilai pembatas dosis yang dipilih sehingga diperoleh nilai ketebalan bahan penahan radiasi yang dibutuhkan.

    Jarak pasien dengan tabung harus tidak boleh kurang dari 1 (satu) meter, dan jarak antara tabung dengan operator tidak boleh kurang dari 2 (dua) meter jika tidak ada penahan radiasi permanen. Namun, jika ruang operator dibuat sekat ruang permanen dan tidak terbuka atasnya maka jarak tabung sinar-X dengan operator tidak boleh kurang dari 1,5 (satu setengah) meter.

    Pertimbangan jarak tersebut dari referensi yang menyatakan bahwa radiasi hambur untuk pesawat sinar-X energi 100 – 300 kV pada jarak 1 meter dari tabung maksimum mencapai 3,6%. Selain itu, radiasi hambur dengan sudut hambur 90 derajat, jarak 1 meter dari tabung, dan luas lapangan 400 cm2 berkurang sampai faktor 1000 dari berkas primernya. Hal ini dapat dipahami bahwa pada tahap disain ruang radiasi pesawat sinar-X dalam bus harus memperhatikan ketentuan spesifikasi teknis peralatan atau rekomendasi internasional, sebagaimana tertuang pada Lampiran IV bagian II Perka BAPETEN No. 8 Tahun 2011.

    Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka ruang pesawat sinar-X paling tidak minimal panjangnya 1 m + 0,3 m (tebal pasien + film) + 1,5 m = 2,8 meter. Sehingga dibutuhkan bus dengan panjang minimal ≈ 4,6 atau 5 meter. Panjang minimal tersebut belum termasuk ruang gelap untuk film dan ruang lain jika diperlukan.

    Selain panjang, juga tinggi bus menjadi pertimbangan tersendiri. Posisi pasien dalam pemeriksaan akan mengambil posisi berdiri, duduk atau pun tidur harus dipertimbangkan.

  7. beban kerja;

  8. Beban kerja merupakan salah satu faktor penting dalam perhitungan disain ruang radiasi. Beban kerja dapat berupa nilai ESD (Entrance Surface Dose) atau DAP (Dose Area Product), jika diketahui datanya. Jika tidak ada data, maka dapat menggunakan rekomendasi NCRP Report No. 147 yaitu didasarkan pada kuat arus dan waktu hidup sinar-X dengan notasi mA.min/minggu atau kerma udara per pasien.

  9. faktor okupansi;

  10. Faktor okupansi (T) adalah fraksi rata-rata waktu maksimum yang dibutuhkan individu berada pada lokasi di luar dinding ruangan radiasi ketika penyinaran dilakukan. Misalnya, ruang sebelah ruang sinar-X adalah ruang perawatan dengan faktor okupansi 1/40. Artinya, individu maksimal berada di ruang perawatan 1 jam per minggu (40 jam).

    Pada pesawat sinar-X dalam bus, beberapa ruang yang diperhitungkan nilai faktor okupansinya adalah ruang kendali penyinaran (100%), ruang ganti pakaian (2,5%), ruang gelap (100%), ruang baca film (100%), ruang kemudi bus (2,5%), dan daerah diluar bus bagian kanan dan kirinya (100%).

  11. Perhitungan tebal dinding primer dan sekunder;

  12. Perhitungan menggunakan metode dan data yang ada pada NCRP Report No. 147 Tahun 2004.

Aspek-Aspek lain yang terkait

Pesawat sinar-X dalam bus merupakan salah satu yang termasuk dalam fasilitas pelayanan kesehatan keliling. Pada pelaksanaannya, pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya.

Penggunaan pesawat sinar-X untuk pemeriksaan umum secara rutin di beberapa tempat dapat dimaknai sebagai fungsi alternatif jika pelayanan secara menetap terkendala. Artinya, apabila berdasarkan penilaian pertimbangan dalam penentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan (luas wilayah, kebutuhan kesehatan, jumlah dan persebaran penduduk, pola penyakit, pemanfaatannya, fungsi sosial, dan lainnya), pemerintah daerah dapat memutuskan untuk memberikan izin pelayanan kesehatan dengan penggunaan pesawat sinar-X dalam bus untuk pemeriksaan umum bagi masyarakat di wilayah tertentu dan selama waktu tertentu. Hal ini dapat dilakukan untuk memenuhi tujuan bahwa pelayanan kesehatan diharapkan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara adil dan merata.

Keterkaitan dengan pemeriksaan yang dilakukan lintas teritorial, harus dikembalikan kepada fungsi pembinaan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah daerah sebagai implementasi fungsi otonomi daerah. Pemeriksaan lintas teritorial dapat saja diberikan oleh pemerintah daerah penyedia jasa pelayanan kesehatan dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah yang akan dituju.

Sebagaimana diketahui bahwa pelayanan kesehatan merupakan salah satu dari industri jasa pelayanan. Semakin banyak jasa pelayanan yang muncul, konsumen semakin banyak pilihan, sehingga penyedia jasa pelayanan kesehatan pun harus berpacu dengan peningkatan mutu layanan dan sistem pemasaran.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga memberikan peningkatan harapan konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pelayanan dengan menggunakan peralatan yang canggih dan mutakhir serta ditunjang dengan mutu layanan yang semakin baik akan menjadi alternatif utama pilihan bagi konsumen.

Dalam rangka menjaga persaingan bisnis yang sehat, maka pemerintah memiliki lembaga pengawas persaingan usaha yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Masyarakat dan/atau pelaku usaha dapat memberikan laporan ke KPPU tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Kesimpulan

Pada pengawasan penggunaan pesawat sinar-X dalam bus membutuhkan adanya koordinasi dan kepercayaan yang baik antar institusi yang berwenang.

Penggunaan pesawat sinar-X dalam bus dapat dijustifikasi jika aspek proteksi dan keselamatan radiasi, aspek sosial ekonomi, dan sumber daya terpenuhi. Selain itu juga harus mempertimbangkan ketentuan lain mengenai penyediaan jasa fasilitas pelayanan kesehatan.

Pustaka

  1. Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN No. 8 Tahun 2011 tentang Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Pesawat Sinar-X Radiologi Diagnostik dan Intervensional.
  2. Radiation Protection Series Publication No. 14.1, Safety Guide, Australia.
  3. Code of Practice, RPII 09/01, 2009.
  4. Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN No. 4 Tahun 2013 tentang Proteksi dan Keselamatan Radiasi dalam Pemanfaatan Tenaga Nuklir.
  5. NCRP Report No. 147 Tahun 2004.
  6. Statkiewicz Sherer, Visconti, and Ritenour, “Radiation Protection in Medical Radiography”, Fifth Edition, Mosby Elsevier Inc., 2006.
  7. International Atomic Energy Agency (IAEA), “Manual on Shielded Enclosures”, Practical Radiation Safety Manual, Vienna, 1992.
  8. Undang Undang (UU) No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
LihatTutupKomentar