Tantangan Pengawasan Penggunaan Sumber Radiasi Pengion di Bidang Kesehatan

Latar Belakang
Pemanfaatan sumber radiasi pengion di bidang kesehatan dari waktu ke waktu mengalami peningkatan, baik dari segi jumlah maupun jenis penggunaannya. Hal tersebut menunjukkan adanya pengakuan yang baik dan indikasi kebutuhan terhadap manfaat dari sumber radiasi pengion bagi kesehatan seseorang. Selain sisi manfaat dari penggunaan sumber radiasi pengion juga memberikan potensi risiko radiasi bagi pekerja atau personil, pasien dan anggota masyarakat. Semakin besar pemanfaatan maka semakin besar pula potensi risiko yang akan diterimanya. Apalagi ditunjang dengan meningkatnya ketergantungan seseorang akan teknologi kedokteran dan vonis dokter dalam hal menentukan kondisi kesehatan.

Secara garis besar, pemanfaatan sumber radiasi pengion di bidang kesehatan dibagi menjadi beberapa bagian yaitu: radiologi diagnostik, radiologi intervensional, radioterapi, dan kedokteran nuklir. Paparan radiasi pada individu (pasien) yang menjalani pemeriksaan dengan sumber radiasi pengion selain memiliki manfaat dari radiasi yang diterimanya juga berpotensi terhadap risiko radiasi yang memicu munculnya efek deterministik maupun efek stokastik dan dapat menaikkan komplikasi penyakit yang diderita oleh pasien. Selain paparan radiasi pada pasien, pelaksana kegiatan seperti staf atau personil yang terlibat, pendamping pasien, keluarga dekat (pada tindakan kedokteran nuklir), petugas magang, dan sukarelawan dalam penelitian biomedik juga memiliki potensi terpapar radiasi karena hamburan dari pasien.



Tantangan
Pada terminologi proteksi radiasi yang lama, kita dapat memperoleh informasi bahwa proteksi radiasi harus diterapkan pada pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup tanpa memasukkan pasien sebagai obyek yang harus diproteksi. Alasannya, karena pasien memperoleh manfaat dari radiasi yang diberikan padanya. Namun, saat ini justru pasien memperoleh prioritas proteksi radiasi yang lebih dibandingkan dengan pekerja dan anggota masyarakat. Jika pasien hanya memperoleh radiasi serendah mungkin yang dapat dicapai tanpa mengabaikan informasi diagnostik yang harus dicapai dengan sistem proteksi radiasi yang baik maka staf dan personil yang ada didekatnya pun akan berpotensi menerima radiasi yang rendah.

Artinya, proteksi radiasi pada pekerja tidak dapat dipisahkan dari proteksi radiasi pada pasien. Jika sistem proteksi radiasi diterapkan maka pekerja memiliki risiko yang lebih rendah dari pada pasien. Radiasi yang diterima oleh pekerja sebagian besar adalah hamburan dari pasien. Oleh karena itu jika pasien menerima radiasi yang rendah maka pekerja radiasi juga akan menerima paparan radiasi hambur yang rendah pula. Namun hubungan risiko radiasi antara pekerja dan pasien tidak sesederhana itu, banyak faktor yang dapat menyebabkan dosis pada pekerja. Salah satu faktor utama adalah peralatan proteksi yang memadai dan penggunaannya yang tepat dalam ruang tindakan dan pengetahuan pekerja mengenai proteksi radiasi.

Sebagaimana diketahui bahwa terdapat prinsip dasar proteksi dan keselamatan radiasi yang harus diprogram dan dilaksanakan yaitu justifikasi pemanfaatan, optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi, dan limitasi dosis. Pada konteks paparan radiasi yang telah disampaikan di atas, dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) paparan yaitu paparan medik, paparan pekerja, dan paparan publik. Paparan medik tersebut terkait paparan terhadap pasien, pendamping pasien, dan sukarelawan. Sedangkan paparan pekerja itu terkait paparan yang diterima oleh pekerja atau personil, dan paparan publik adalah terkait dengan paparan pada anggota masyarakat ataupun individu yang tidak terindikasi klinis (mediko-legal). Pada paparan medik, diperlukan penerapan prinsip justifikasi dan optimisasi, sedangkan pada paparan pekerja dan paparan publik diperlukan penerapan ketiga prinsip proteksi radiasi tersebut.

Pemanfaatan sumber radiasi pengion harus selalu dikontrol atau dikendalikan oleh badan pengawas. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) sebagai badan pengawas yang memiliki tugas dan kewajiban dalam pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir yang di dalamnya termasuk penggunaan sumber radiasi pengion di bidang kesehatan.

Pengawasan yang dilakukan oleh BAPETEN tidak dapat dilaksanakan jika tidak ada koordinasi dan kerjasama yang baik diantara para pemangku kepentingan. Misalnya dalam hal pengawasan sumber radiasi pengion di bidang kesehatan. Penggunaan radiasi secara garis besar dilakukan oleh rumah sakit, klinik ataupun puskesmas. Institusi pengguna radiasi juga ada yang dari pihak swasta dan pemerintah yang pemiliknya disebut dengan pengusaha instalasi atau pemegang izin atau pemohon izin. Instansi milik pemerintah ataupun swasta dalam hal pelayanan kesehatan dibina oleh Kementerian Kesehatan.

Selain itu juga ada institusi pelaksana sebagaimana amanat UU No. 10 Tahun 1997 sebagai badan pelaksana, BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional), juga memiliki tugas dan fungsi penelitian dan pengembangan penggunaan radiasi dibidang kesehatan.
Ada institusi pendidikan seperti Politeknik Kesehatan, Universitas, dan lembaga profesi, seperti dokter spesialis, perawat, radiographer, fisikawan medik, dll.
Kesemua institusi tersebut adalah yang berkaitan dengan penggunaan sumber radiasi pengion di Indonesia.

Dalam rangka memenuhi kerangka hukum pengawasan, maka sampai saat ini pemerintah melalui BAPETEN telah memiliki perangkat peraturan yang telah disesuaikan dengan standar internasional IAEA seperti BSS 115 dan standar lain sebagai turunannya.
Selain itu juga secara internasional telah keluar rekomendasi dan standar baru seperti ICRP No. 103 Tahun 2007 dan IAEA General Safety Requirement (GSR) Part 3 Tahun 2011. Perkembangan standar dan rekomendasi internasional merupakan wujud dari perkembangan pengawasan yang terjadi di internasional, diantaranya rekomendasi baru mengenai nilai batas dosis ekivalen untuk lensa mata, yaitu 20 mSv per tahun rata-rata selama 5 (lima) tahun berturut-turut dan tidak boleh dalam setahun melebihi 50 mSv. Rekomendasi tersebut akan memberikan implikasi yang sangat besar untuk para pekerja radiologi intervensional, karena sebelumnya nilai batas dosis untuk lensa mata sebesar 150 mSv/tahun.

Selain itu perubahan terminologi pekerja radiasi menjadi lebih luas dan perlu identifikasi kembali. Menurut IAEA GSR Part 3, definisi pekerja radiasi adalah setiap otang yang bekerja, penuh waktu, paruh waktu atau temporer, untuk majikan yang mengakui hak dan kewajibannya dalam hal proteksi radiasi bagi pekerja. Definisi tersebut sungguh luas ruang lingkupnya, termasuk orang yang berwiraswasta juga termasuk sebagai pekerja radiasi. Karena orang yang berwiraswasta dapat bertindak sebagai majikan maupun karyawan, sehingga perlu diberikan informasi yang cukup, instruksi dan pelatihan proteksi radiasi. Seseorang dapat disebut sebagai pekerja radiasi jika berpotensi menerima paparan radiasi dari tingkat yang paling rendah sampai yang paling besar.

Teknologi modalitas yang menggunakan sumber radiasi pengion sampai saat ini menunjukkan berkembangan yang sangat pesat, seperti: perubahan dari teknologi pencitraan manual ke digital, penggunaan pencitraan radiasi untuk panduan terapi secara realtime, perubahan teknik radioterapi yang bergeser ke arah volumetrik atau 3D, penggunaan radiasi untuk pemeriksaan manusia yang terkait dengan medico-legal, perkembangan teknologi dari terpasang tetap menjadi mobile, dll. Sebagai Badan Pengawas, BAPETEN harus peka dan mampu menghadapi perkembangan dan pemanfaatan teknologi baru tersebut.

Dari yang diuraikan tersebut di atas dapat diperoleh beberapa poin mengenai tantangan nasional pengawasan pemanfaatan sumber radiasi pengion di bidang kesehatan, yaitu:
  1. Adanya pergeseran dan perkembangan perhatian pengawasan keselamatan radiasi selain ke pekerja radiasi, yaitu untuk pasien dan lingkungan.
  2. Adanya perkembangan teknologi peralatan yang menggunakan sumber radiasi pengion untuk diagnostik maupun terapi.
  3. Adanya rekomendasi ICRP No. 103 tahun 2007 dan GSR Part 3 IAEA
  4. reviu penerapan peraturan keselamatan radiasi yang berlaku di Indonesia.
  5. pemenuhan terhadap kelengkapan peraturan keselamatan radiasi terutama tingkat pedoman dan panduan teknis.
  6. Dibutuhkan action plan untuk membangun pengawasan sumber radiasi pengion yang terintegrasi dan menyeluruh sehingga terbangun sistem proteksi dan keselamatan radiasi. Action Plan tersebut berupa penjalinan dan pemeliharaan kerjasama secara konstruktif dengan instansi yang terkait dengan pengawasan sumber radiasi pengion, seperti KEMENKES, BATAN, KEPMENAKERTRANS, dan institusi pendidikan untuk mewujudkan kesepahaman bersama dalam meningkatkan kualitas pengawasan.

Secara internasional, tantangan proteksi radiasi di bidang kesehatan dan medik sampai Tahun 2025 adalah :
  1. Radon
  2. Perubahan teknologi yang mengakibatkan kenaikan atau penurunan paparan medik.
  3. Adanya paparan radiasi ke pasien yang tidak perlu atau kejadian over ekspos dalam tindakan diagnostik dan terapi.
  4. Upaya pencapaian kesepakatan pada referensi dosis untuk menuju "praktek yang baik" pada berbagai prosedur medis
  5. Sertifikasi profesi dan pelatihan untuk mereduksi penggunaan radiasi di bidang medik yang tidak tepat.
  6. Kebutuhan peralatan standar terkalibrasi & pedoman
  7. Kebutuhan profil paparan medik.
  8. Pendekatan pencegahan dan modalitas baru untuk diagnostik dan upaya untuk mereduksi penggunaan radiasi pengion.

Permasalahan
Permasalahan yang terjadi sampai saat ini bagi Indonesia maupun di Internasional adalah penerapan justifikasi dan optimisasi pada paparan medik dan paparan kerja. Artinya ini menjadi masalah global dan regional yang menuntut adanya kerjasama antar institusi terkait dan pemerintah untuk mencarikan suatu solusi.

Pada paparan kerja pada bidang kesehatan, fokus utama yang perlu diperhatikan adalah paparan pada personil yang melaksanakan tindakan radiologi/kardiologi intervensional. Tindakan intervensional tersebut merupakan kontributor utama dalam meningkatnya dosis pada personil pelaksananya. Permasalahan tindakan intervensional adalah terkait dengan justifikasi dan optimisasi.

Kerangka hukum yang kuat dan lengkap belum dapat memberikan jaminan penerapan proteksi dan keselamatan radiasi karena biasanya peraturan yang lengkap didalamnya terkandung indikasi yang menyatakan bahwa peraturan perundangan tersebut belum efektif diterapkan, khususnya terkait dengan justifikasi dan optimisasi.

Pengujian peralatan pembangkit sumber radiasi pengion maupun zat radioaktif dipandang penting sebagai alat untuk memfasilitasi dan meningkatkan adanya proses justifikasi. Pengujian peralatan ini harus diintruduksi dan diterapkan di Indonesia dan perlu dipertimbangkan adanya penyesuaian terkait perkembangan di pemanfaatan di Indonesia. Introduksi pengujian pada peralatan radiologi diagnostik dan intervensional sudah mulai berjalan, kemudian perlu di introduksi pengujian kendali mutu peralatan radioterapi, mulai dari Linear Accelerator (LINAC), Pesawat Co-60, Brakiterapi High Dose-Rate (HDR), simulator termasuk CT Scan simulator, dan Treatment Planning Systems (TPS). Perlu menjadi perhatian lagi adalah permasalahan ketersediaan pedoman teknis. Pedoman dibutuhkan untuk meningkatkan pola rujukan, dan dengan demikian meningkatkan kepatuhan terhadap justifikasi. Pada proses justifikasi, banyak tugas yang harus dilakukan dan menuntut adanya keterlibatan dan partisipasi dari para praktisi radiologi maupun yang merujuk, dan kejelasan peran masing-masing.

Pelaksanaan audit klinis penting untuk dilakukan dan harus menjadi perhatian dalam rangka meningkatkan justifikasi dalam radiologi diagnostik. Perhatian harus diberikan sehingga audit klinis itu diinginkan dan dapat dicapai. Permasalahan lain yang perlu menjadi perhatian lagi adalah kebutuhan untuk menembus dan membedakan pola komunikasi untuk menghadapi para profesi yang terlibat dengan proteksi radiasi di bidang kesehatan, seperti: isu-isu yang terkait dan program-program yang harus dikembangkan, termasuk program pendidikan dan diseminasi dengan teknologi komunikasi dan informasi.

Pendekatan tradisional untuk komunikasi dosis dan risiko oleh para profesional proteksi radiasi terhadap para profesional bidang kesehatan dan pasien sudah tidak efektif lagi, sehingga diperlukan pendekatan baru yang sederhana dan efektif harus diidentifikasi, dieksplorasi dan dipromosikan.

Ada beberapa hal yang membutuhkan adanya justifikasi khusus, misalnya: masalah dengan pasien muda dan anak-anak; CT Scan untuk pemeriksaan yang bersifat oportunis dan masalah terkait dengannya, program pemeriksaan massal (mass screening), masalah kehamilan, pencitraan manusia untuk non-medis (medico-legal), radiologi gigi, dan masalah dengan peralatan mobile dan portabel.

Akhirnya….
Informasi mengenai tantangan pengawasan diharapkan dapat memberikan informasi mengenai:
  1. Indikasi gap dalam penerapan proteksi radiasi di bidang kesehatan.
  2. Identifikasi tool untuk meningkatkan proteksi radiasi dibidang kesehatan
  3. Reviu lebih lanjut dan tantangan dari penerapan proteksi radiasi
  4. Kajian dampak penerapan peraturan atau standar yang telah dikeluarkan terkait proteksi dan keselamatan radiasi dalam rangka menyiapkan kebijakan baru.

Pustaka
  1. Robert L. Olson, The Future of Radiation rotection: 2025, a Handbook for Improving Radiation Protection, Institute for Alternative Futures (IAF) and The U.S. Environmental Protection Agency, 2002.
  2. IAEA Safety Standards, Radiation Protection and Safety of Radiation Sources: International Basic Safety Standards, INTERIM EDITION, No. GSR Part 3 (Interim), General Safety Requirements Part 3, 2011.
  3. "Justification of Medical Exposure In Diagnostic Imaging", Proceedings of An International Workshop on Justification of Medical Exposure in Diagnostic Imaging, International Atomic Energy Agency & European Commission, Brussels, 2–4 September 2009, Proceedings Series, International Atomic Energy Agency, Vienna, 2011.
  4. http://vadlo.com/cartoons.php?id=174, for image.
LihatTutupKomentar