Dosimetri dan Manajemen Dosis Pasien pada Mamografi

Pendahuluan

Apa yang terbersit dibenak jika mendengar kata mamografi? Ya bermacam macam, ada yang tidak mengetahui apa itu mamografi dan ada juga yang mengetahui apa itu mamografi. Bagi yang mengerti dan memahami apa itu mamografi, maka akan terasa ngeri ngeri sedap. Apalagi bagi yang mengerti mengenai radiasi pengion. Pasti serem.

Sesuai dengan Peraturan Kepala BAPETEN No. 8 Tahun 2011, yang dimaksud dengan mamografi (ditulis dengan kalimat sendiri) adalah teknik pemeriksaan payudara menggunakan sinar-X energi rendah.
Fungsinya apa mamografi itu? Yaitu untuk mengidentifikasi atau mendiagnosa adanya kelainan berupa lesi pada jaringan lunak payudara, baik lesi jinak maupun ganas sebagai dasar melakukan tindakan medis selanjutnya.

Penggunaan mamografi ini ada untungnya juga ada kerugiannya, apalagi ini adalah modalitas yang menggunakan sumber radiasi pengion. Bagaimana menjaga keuntungan yang diperoleh dari penggunaan mamografi lebih besar dibanding dengan risiko/kerugiannya? Jawabnya, penggunaannya harus terjustifikasi dan optimal. Kalau tidak terjustifikasi dan optimal maka akan dikhawatirkan penggunaan mamografi boleh jadi tidak mendeteksi lesi tetapi justru memicu menginduksi munculnya lesi ganas. Serem khan?

Risiko radiasi dikaitkan dengan dosis

Bagi wanita yang sudah menikah dan bekerja pada suatu instansi, umumnya akan menjalani pemeriksaan rutin tahunan yang biasa disebut dengan medical check-up. Salah satu parameter yang ditawarkan pada pemeriksaan medical check-up tersebut adalah skrining mamografi. Sebenarnya parameter tersebut dapat ditolak jika tidak ada indikasi klinis sebelumnya terkait adanya keluhan pada payudara. Namun mayoritas wanita yang akan menjalani pemeriksaan tersebut tidak mengetahui fungsi dan risiko pemeriksaan dengan mamografi.

Pada dunia internasional, risiko yang terkait dengan skrining mamografi rutin telah mendapat perhatian yang besar karena adanya dugaan kemungkinan induksi kanker payudara karena radiasi energi rendah.
Sejumlah studi telah dilaksanakan terkait dengan risiko radiasi karena skrining mamografi rutin, dan diperoleh beberapa temuan utama, yang salah satunya adalah sebagian besar hasil studi menunjukkan peningkatan kejadian atau kematian dari kanker payudara setelah radiasi.

Mammografi merupakan metode deteksi dini kanker payudara yang unik dan efektif, namun karena mayoritas prosedur mamografi ini digunakan untuk skrining wanita tanpa ada gejala klinis dan sebagaimana diketahui bahwa jaringan payudara merupakan salah satu organ yang sensitif terhadap radiasi, maka dapat saja yang diperoleh bukan mendeteksi kanker tetapi justru menginduksi munculnya kanker.

Apalagi ditunjang dengan kenyataan bahwa deteksi kanker payudara stadium awal/dini sulit dideteksi karena kelainan yang nampak sangat mirip dengan jaringan payudara normal. Bagaimana cara membedakannya antara jaringan normal dengan kanker pada stadium dini? Karena perbedaannya tipis, maka perbedaan antara kanker dan jaringan normal perlu diperjelas dan diperkuat, dan ini uniknya, salah satu cara efektifnya adalah dengan pemeriksaan menggunakan sinar-X energi rendah yang didisain khusus untuk mamografi.

Sesuai dengan profil kejadian kanker Indonesia yang dipublikasikan oleh WHO Tahun 2014, menunjukkan bahwa kanker payudara menempati urutan pertama dari beberapa kejadian kanker pada wanita. Berdasarkan data tersebut, maka program yang dicanangkan oleh pemerintah adalah dengan melaksanakan deteksi dini. Harapannya, dengan diagnosis dini dapat menjadi kunci untuk pengobatan yang efektif, dan dapat mencegah kematian.


Ada banyak bukti bahwa manfaat yang dihasilkan dari penggunaan mamografi secara substansial lebih besar dari potensi risiko radiasi, namun bukti itu diperoleh jika dosis radiasi dijaga seminimal mungkin dengan tetap berupaya mempertahankan kualitas citra yang memadai untuk kebutuhan penegakan diagnostik.
Salah satu upaya untuk meminimalkan dosis radiasi adalah mengetahui besarnya dosis radiasi yang diterima oleh pasien. Setelah mengetahui nilainya kemudian baru direviu untuk mencari cara menurunkan nilai dosis tanpa ngurangi kualitas citra. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemantauan dosis pasien.

Pada mamografi, potensi risiko radiasi dapat berpotensi muncul lebih besar dibanding manfaatnya jika tidak memperhatikan aspek proteksi dan keselamatan radiasi, karena pada payudara, jaringan kelenjar (glandular tissue) merupakan jaringan yang paling rentan dengan radiasi dibandingkan dengan jaringan adipos (lemak), kulit dan areolar (puting). Besarnya radiasi yang diterima oleh jaringan glandular memiliki korelasi yang sangat signifikan dan linier dengan besarnya risiko radiasi.

Sehingga dapat dipahami bahwa pemeriksaan dengan mamografi tidak direkomendasikan untuk wanita di bawah 40 tahun kecuali ada indikasi temuan fisik.
Artinya, pemeriksaan mamografi direkomendasikan dilakukan pada wanita setelah usia 40 tahun. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa asumsi perhitungan dosis diterapkan terutama untuk payudara yang sudah berisi sebagian besar dari jaringan adipos dan itu ditemukan pada wanita yang lebih tua di atas 40 tahun.

Dosimetri Pasien pada Mamografi

Pemantauan dosis pasien pada mamografi dapat dilakukan dengan melakukan jika beberapa parameter berikut ini ada yaitu:
  1. Logbook/pencatatan faktor eksposi tiap pasien seperti kV, mA/mAs, tebal kompresi (cm), dan jarak fokus ke film (biasanya sekitar 64 atau 65 cm).
  2. Data keluaran radiasi (radiation output) dari hasil uji kesesuaian atau pengujian tabung sinar-X.

Informasi dosis pasien pada mamografi yang paling tepat diindikasikan dalam terminologi mean glandular dose (MGD). Nilai MGD dapat dihitung dengan mempertimbangkan nilai kerma udara atau incident air kerma (INAK), faktor kompresi, faktor komposisi glandular dan adipose, faktor anoda - filter yang digunakan, dan kualitas radiasi (HVL).

Banyaknya faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan MGD menjadikan indikator dosis MDG kurang praktis digunakan di dalam praktek klinis, sehingga pada implementasi praktisnya indikator dosis pada pemeriksaan mamografi hanya menggunakan nilai INAK.
Hal tersebut sejalan dengan falsafah tingkat panduan atau DRL yaitu indikator dosis harus mudah diukur dan mudah diterapkan pada klinis.

Pengukuran keluaran radiasi (radiation output) dilakukan melalui beberapa tahapan berikut:
  1. Catat nilai HVL inheren dan/atau tambahan jika ada;
  2. Catat kombinasi anoda/target dengan filter yang digunakan;
  3. Pasang detektor pada jarak 50 cm dari fokus dengan menggunakan stand sehingga yang tercatat nanti adalah kerma udara tanpa hamburan (lihat Gambar 2);
  4. Dengan variasi kV muai dari terkecil hingga terbesar dan nilai mA/mAs tetap, lakukan pengukuran sehingga diperoleh nilai kerma untuk tiap variasi kV;
  5. Dari hasil ukur maka dapat dibuat grafik antara kV dengan K (mGy/mAs) pada jarak 50 cm (lihat Gambar 3).

Apabila setiap pesawat sinar-X memiliki keluaran radiasi sebagaimana Gambar 3, dan dengan menggunakan data faktor eksposi tiap pasien seperti kV, mA/mAs, tebal kompresi (cm), dan jarak fokus ke film (biasanya sekitar 65 cm), maka nilai INAK akan dapat ditentukan.


Faktor konversi (fg) untuk memperoleh nilai MGD (mGy) dengan ketebalan kompresi 3 – 5 cm adalah antara 0,15 – 0,40 dengan rata-rata 2,70. Itu adalah perkiraan konservatif.

Manajemen Dosis Pasien

Selanjutnya, bagaimana melakukan pemantauan dan pengelolaan dosis pasien?
Pada setiap data faktor eksposi yang ada pada logbook, lakukan perhitungan nilai INAK-nya, kemudian kelompokkan nilai INAK berdasarkan ketebalan kompresi paling tidak minimal 20 data.


Dari data pada Gambar 5, kemudian dicari nilai kuartil 3 (Q3) untuk memperoleh nilai tingkat panduan atau DRL.
Dengan berpatokan pada nilai Q3 tersebut, kita dapat melakukan reviu pada data yang sudah ada atau pun pada data penyinaran selanjutnya setelah diketahui nilai Q3-nya.

Misal, kita akan mereviu data yang sudah ada. Dari data yang ada pada Gambar 5, ada sebanyak 25% data yang ada di atas nilai Q3. Data yang di atas Q3 itu yang kita perhatikan. Dengan membuka kembali logbook ataupun catatan penyinaran, lihat kV, mAs, posisi proyeksi penyinaran, jarak, film/digital dan lainnya, kemudian catat temuan yang ada. Apakah kV-nya terlalu besar. Apakah mA/mAs-nya?

Temuan tersebut, kemudian dijadikan masukan untuk pelaksanaan kendali mutu selanjutnya (uji kesesuaian), mencari mA/mAs minimum dengan mutu citra yang sama. Begitu pula, kV minimum untuk mutu citra yang sama. Hasil dari kV dan mA/mAs minimum tadi dapat diaplikasikan pada prosedur klinis sehingga nilai INAK yang dihasilkan lebih rendah dari nilai Q3.

Begitu pula, apabila nilai Q3 akan digunakan pada penyinaran selanjutnya setelah ditetapkannya nilai Q3 sebagai nilai DRL. Artinya, pada periode Juni 2015 ditetapkan nilai DRL, dan akan dilaksanakan pada periode Juli 2015. Pada periode pelaksanaan DRL tersebut, setiap penyinaran pada pasien dihitung nilai INAK dan apabila ditemukan di atas nilai DRL maka pada kasus penyinaran tersebut dilakukan reviu mencari penyebab dari INAK yang di atas DRL. Setelah penyebabnya diketahui maka dilakukan koreksi pada prosedur selanjutnya. Sehingga nilai INAK berada di bawah DRL.

Apabila pada suatu institusi menetapkan bahwa nilai DRL direviu setiap 2 tahun sekali, maka pada periode Juni 2017 dilakukan lagi penetapan nilai DRL berdasarkan data tahun 2015 – 2017. Nilai DRL pada tahun 2017 akan diprediksi lebih rendah dibanding tahun 2015. Begitu seterusnya.
Dari banyak penelitian, saat pertama kali dilakukan perhitungan atau pengukuran dosis, maka optimisasi dapat dilakukan sampai dosis tersebut turus sekitar 40% dari nilai awal. Artinya jika awalnya 14 mGy, maka dapat diturunkan sampai 8,4 mGy dengan tetap menjaga citra memadai untuk diagnostik.

Upaya optimisasi tersebut butuh pengorbanan, baik berupa tenaga, biaya, maupun waktu. Sehingga upaya optimisasi menjadi terbatasi oleh kemampuan social ekonomi dari institusi.

Kelebihan yang diperoleh jika kita memiliki manajemen dosis pasien adalah:
  1. Dapat menerapkan teknik mamografi yang tepat dalam praktek klinis,
  2. Dapat mereviu dan menilai risiko radiasi,
  3. Dapat memilih teknik yang tepat,
  4. Dapat memverifikasi aplikasi teknis yang tepat.
Variabel yang mempengaruhi dosis payudara

Variabel utama yang mempengaruhi dosis payudara per penyinaran pada mamografi adalah:
  1. pemilihan jenis reseptor citra
  2. Pada mamografi dengan skrin film, penggunaan HVL akan optimum pada 0,3 – 0,4 mmAl. Sistem konvensional, dosis payudara ditentukan sesuai dengan kepadatan optik dan kecerahan citra yang diperoleh. Namun, itu tidak berlaku pada sistem digital. Perlu dipahami bahwa pada sistem digital mamografi, yang perlu diperhatikan adalah teknik memperoleh SNR yang dapat diterima pada sebuah citra. Dosis radiasi sangat dipengaruhi oleh SNR.

  3. energi sinar-X (HVL dan tegangan puncak tabung)
  4. Jika energi sinar-X ditingkatkan maka cenderung mengurangi dosis payudara tetapi mengorbankan kontras citra. Sehingga diperlukan optimisasi. Pada kondisi HVL tetap, dengan variasi nilai kV akan diperoleh variasi nilai dosis tetapi tidak signifikan. Penggunaan filter atau target Rhodium (Rh) dapat mengurangi dosis untuk kelenjar payudara yang tebal atau lebih, tetapi akan mengakibatkan penurunan kontras citra. Sehingga dioptimisasi yang mengakibatkan disain kombinasi filter-target. Kombinasi Rh/Rh atau Mo/Rh dapat digunakan untuk memperoleh kualitas citra yang tinggi pada payudara tebal atau yang persentase jaringan glandularnya lebih tinggi.

  5. tingkat kompresi payudara
  6. Kompresi yang seragam dapat mengurangi dosis radiasi karena kompresi yang seragam mengakibatkan volume payudara menyebar secara lateral sehingga dapat mengurangi jejak sinar-X yang melewati payudara secara signifikan.

    Potensi pengurangan dosis karena kompresi payudara dapat melebihi 50% jika menggunakan teknik skrin film. Kompresi berguna untuk modifikasi payudara dalam bentuk tampang lintang sagital dan transversal dan komponen glanduralnya menyebar dalam bentuk empat persegi panjang. Kompresi juga berguna untuk menyederhanakan konfigurasi struktur geometris dari payudara dan mempermudah bentuk untuk digunakan sebagai model komputasi dalam penentuan dosis.

  7. ukuran payudara dan adipositas
  8. Payudara memiliki ukuran dan adipositas yang sangat bervariasi sehingga sehingga mengakibatkan variasi nilai dosis yang signifikan pada teknik proyeksi penyinaran tertentu. Ketebalan payudara yang terkompresi sangat mempengaruhi dosis secara signifikan sehingga harus pertimbangkan sehingga memperoleh dosis yang akurat. Luasan payudara yang terkompresi sangat bervariasi namun kurang memberi pengaruh terhadap dosis sehingga variasi dosis menjadi relatif kecil. Misalnya, perubahan luasan dari 35 – 270 cm2 menghasilkan pengurangan dosis sebesar < 10%.

    Payudara yang memiliki fraksi jaringan adiposnya besar akan lebih mudah ditembus sinar-X dari pada yang mengandung fraksi jaringan fibroglandular besar, sehingga dengan menggunakan teknik penyinaran yang sama, payudara yang banyak komposisi lemaknya akan menerima dosis yang lebih rendah per pemeriksaan.

  9. penggunaan grid dan non-grid
  10. Faktor rasio grid pada mamografi adalah sekitar 2 – 2,5 dan akan mengakibatkan peningkatan dosis payudara dengan faktor tersebut untuk penggunaan grid dibanding tanpa grid.

Kesimpulan

Penting diperhatikan bahwa penggunaan mamografi adalah sangat efektif untuk deteksi kanker, namun juga dapat sangat efektif menginduksi kanker. Sehingga perlu dipastikan bahwa program jaminan mutu harus berjalan dengan benar didukung dengan pelaksanaan program manajemen dosis radiasi secara berkesinambungan.

Pustaka

  1. Peraturan Kepala BAPETEN No. 8 Tahun 2011.
  2. WHO Cancer country profiles 2014, http://who.int/cancer/country-profiles/en/
  3. John M. Boone, “Patient Dosimetry in Mammography and Tomosynthesis: What to measure, why and how”, 2013 ICTP/IAEA Training Course on Radiation Protection of Patients.
  4. NCRP 149, “A Guide to Mammography and Other Breast Imaging Procedures”, 2004.
  5. International Journal of Science and Technology, “Inter-Comparison of Dose Indicators and Mean Glandular Dose for some Selected Diagnostic Mammography Units in Accra, Ghana”, Volume 3 No. 5, May 2013.
  6. http://www.personal.psu.edu/afr3/blogs/siowfa12/2012/10/mammograms-shown-to-cause-breast-cancer.html
  7. http://www.upstate.edu/radiology/education/rsna/mammography/dose.php
LihatTutupKomentar