Tinjauan Formulasi Kalkulasi Distribusi Dosis pada Brakiterapi HDR

Pendahuluan
Publikasi ICRP (International Commission on Radiological Protection) No. 97 Tahun 2005 memberikan laporan bahwa teknologi brakiterapi dengan laju dosis tinggi (High-Dose Rate, HDR) mengalami perkembangan yang cukup signifikan untuk menggantikan brakiterapi Low-Dose Rate, LDR [1].

Di Indonesia, teknologi brakiterapi yang digunakan sebagian besar adalah HDR dengan menggunakan sumber Ir-192. Sesuai dengan data Perizinan yang ada di BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) per tanggal 1 Juli 2013 menunjukkan bahwa di Indonesia saat ini ada 9 (sembilan) Rumah Sakit yang memiliki brakiterapi HDR [2].

Teknik brakiterapi HDR didefinisikan sebagai terapi jarak dekat dengan laju dosis sekitar 1,6 – 5,0 Gy per menit. Oleh karena itu, pengoperasian alat ini memerlukan ketelitian dan kehati–hatian yang tinggi agar diperoleh dosis tinggi pada target tumor dan dosis rendah pada jaringan tubuh sehat lainnya [1].

Task Group (TG) 56 AAPM (American Association of Physicists in Medicine) [3] merekomendasikan bahwa keakuratan data distribusi laju dosis didasarkan pada geometri dan karakteristik mekanik dari sumber yang direpresentasikan sebagai berbagai parameter dosis. Selanjutnya data parameter dosis tersebut diperlukan untuk kalkulasi pada TPS (Treatment Planning Systems).

Kalkulasi dosis merupakan hal mendasar yang harus dilakukan dalam tahapan pretreatment (sebelum tindakan) untuk menentukan kepastian bahwa jumlah sumber, teknik prosedur, aktivitas dan umur sumber sesuai/benar [4]. Metode kalkulasi dosis harus selalu ditujukan untuk memaksimalkan dosis pada target tumor dan meminimalkan dosis pada jaringan sehat. Pada Tahun 1995, TG 43 AAPM [5] mengeluarkan sebuah protokol dosimetri yaitu mengenai metode kalkulasi parameter distribusi dosis sumber radioaktif untuk brakiterapi. Protokol tersebut mengalami pembaharuan Tahun 2004 dengan mengeluarkan AAPM Report No. 84 [6]. Dalam protokol tersebut direkomendasikan bahwa setiap jenis sumber radioaktif yang digunakan dalam brakiterapi harus memiliki data parameter distribusi dosis, seperti: kekuatan kerma udara, konstanta laju dosis, fungsi dosis-radial, dan fungsi anisotropi.

Tinjauan Protokol Dosimetri Baru
Protokol dosimetri yang baru sebagaimana tertuang dalam AAPM Report No. 84 merupakan pengembangan dari formulasi distribusi dosis yang sebelumnya digunakan. Pada metode kalkulasi dosis yang lama, laju dosis pada jarak tertentu dari sumber dihitung dengan menggunakan pendekatan sumber titik (point source), yaitu berbanding terbalik dengan kuadrat jarak (r) sebagai konsekuensi hukum kuadrat terbalik. Sebagaimana persamaan berikut [5]:

 dengan Aapp adalah aktivitas sumber radioaktif; fmed faktor konversi dari paparan ke dosis; (Γδ)x konstanta laju paparan sumber radioaktif; T(r) faktor atenuasi jaringan; Φan merupakan konstanta anisotropi.

Secara umum, ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi distribusi dosis untuk sumber tunggal pemancar foton, yaitu: (1) jarak, (2) absorpsi dan hamburan dalam medium sumber maupun pembungkusnya, (3) atenuasi foton, dan (4) hamburan dalam medium fantom. Pada pendekatan sumber titik, faktor jarak mengikuti hukum kuadrat terbalik, yaitu berbanding terbalik dengan kuadrat jarak.
Oleh karena itu, pada persamaan di atas, untuk menentukan laju dosis serap dapat diperoleh dengan mengalikan laju paparan X = A Γδ (1/r2) R/jam terhadap faktor konversi dari paparan ke dosis (fmed) yang nilainya 1 R = 8,76 x 10-3 Gy. Sebagai konsekuensi pengaruh faktor atenuasi foton dan hamburan dalam medium fantom maka perlu koreksi untuk faktor atenuasi jaringan, T(r). Pada brakiterapi, distribusi laju dosis disekitar sumber juga mempertimbangkan faktor anisotropi (Φan) karena geometri sumber [7].

Protokol dosimetri baru menyebutkan bahwa tiap kuantitas yang digunakan untuk menghitung laju dosis serap itu diukur atau dikalkulasi sesuai dengan jenis sumber radioaktifnya. Oleh karena itu, selain spektrum foton dan medium yang digunakan juga tergantung pada konstruksi dan geometri sumber radioaktifnya.

Salah satu masalah mendasar pada protokol lama adalah kalkulasi dosis didasarkan pada fluens foton sumber di udara terbuka (free space) sedangkan pada aplikasi klinis memerlukan distribusi dosis pada medium penghambur seperti pasien. Penentuan distribusi dosis dua dimensi dalam medium hambur dari distribusi dosis dalam udara terbuka dapat dilakukan jika sumbernya berbentuk titik yang isotropik.

Kenyataannya sumber brakiterapi adalah anisotropi, sehingga penentuan distribusi dosis menjadi kurang akurat jika dilakukan di udara terbuka. Oleh karena itu direkomendasikan sebuah formula untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan melakukan pengukuran secara langsung atau kalkulasi distribusi dosis yang dihasilkan dari sumber dalam medium ekivalen air [5].
Sebagaimana diketahui bahwa medium air memiliki kedekatan dengan jaringan lunak terkait dengan atenuasi dan hamburan karena memiliki kerapatan massa (jaringan lunak 0,98 – 1 g/ml dan air 1 g/ml), kerapatan elektron (jaringan lunak 3,36E23 e/g dan air 3,34E23 e/g) , dan jumlah atom (jaringan lunak 7,35 dan air 7,4) yang hampir sama [8].

Protokol baru yang direkomendasikan, memperkenalkan sejumlah kuantitas seperti fungsi anisotropi, F(r,θ); konstanta laju dosis, Λ; faktor geometri, G(r, θ); fungsi dosis-radial, g(r); dan kekuatan kerma udara, Sk. Seluruh kuantitas tersebut menggantikan kuantitas yang sudah familier sebelumnya, yaitu [5]:
a. Aktivitas sumber Aapp digantikan dengan kekuatan kerma udara, Sk.
b. Konstanta laju paparan (Γδ)x digantikan dengan konstanta laju dosis, Λ
c. Jarak kuadrat terbalik (1/r2) digantikan dengan faktor geometri, G(r, θ)
d. Faktor atenuasi jaringan T(r) digantikan oleh fungsi dosis-radial, g(r)
e. Konstanta anisotropi Φan digantikan dengan F(r, θ)

Gambar 1. Ilustrasi geometri dalam formulasi perhitungan dosis TG 43 [6]

Pada Gambar 1, titik referensi untuk perhitungan dosis yaitu pada koordinat (r0, θ0) berjarak 1 cm dari pusat sumber pada sumbu tranversal. Nilai r0 adalah 1 cm dan nilai θ0 sama dengan π/2.

1. Kuat Sumber (Source Strength) atau Kekuatan Kerma Udara (Air Kerma Strength, Sk)
Sampai saat sekarang, untuk mengekspresikan tentang kuat sumber brakiterapi adalah menggunakan istilah aktivitas sumber radioaktif. Sedangkan untuk keluaran (output) sumber brakiterapi biasanya diekspresikan dengan laju paparan (exposure rate), yang dapat diperoleh dengan mengalikan kuat sumber dengan konstanta laju paparan (exposure-rate constant). Namun, sekarang ini AAPM telah merekomendasikan penggunaan istilah Air Kerma Strength (kekuatan kerma udara) untuk mengekspresikan kuat sumber radioaktif [9].

Kalkulasi kekuatan kerma udara (Sk) dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu [10]:
1. Simulasi di hampa udara (vacuum). Laju kerma udara sampai pada jarak 50 cm sumbu tranversal dievaluasi untuk menentukan nilai Sk dengan persamaan Sk = K(d).d2
2. Simulasi di media udara. Laju kerma udara sampai jarak 100 cm sumbu tranversal dievaluasi untuk menentukan nilai Sk dengan membuat plotting antara K(d).d2 vs d kemudian dibuat persamaan linier K(d).d2 = Sk + β.d

Sesuai dengan rekomendasi AAPM TG 43 [4], maka satuan untuk kekuatan kerma udara sedikit mengalami modifikasi dari satuan mGy.m2.h-1 menjadi satuan U. Maksudnya, 1 U = 1 µGy.m2.h-1 = 1 cGy.cm2.h-1.

2. Konstanta Laju Dosis (Λ)
Konstanta laju dosis (Λ) didefinisikan sebagai laju dosis di medium air pada titik referensi yaitu pada titik P(r00) per kekuatan kerma udara, Sk.
Λ memiliki satuan cGy.h-1.U-1. Konstanta laju dosis dipengaruhi oleh model sumber dan jenis radionuklidanya, dan juga dipengaruhi oleh desain internal sumber dan metodologi eksperimen untuk menentukan Sk [6].
3. Fungsi Geometri
Secara fisik, fungsi geometri mempunyai tujuan untuk memberikan koreksi terhadap hukum kuadrat terbalik sesuai model geometri sumber yang digunakan dan mengabaikan faktor hamburan dan atenuasi. Protokol baru merekomendasikan penggunaan model sumber titik dan garis sehingga memunculkan model fungsi geometri sebagai berikut [6]:


Dengan β adalah sudut dalam radian, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

4. Fungsi Dosis-Radial,gL(r)
Fungsi dosis-radial, gL(r), dikalkulasi untuk dosis yang berada pada bidang tranversal pada sudut 90° dan dipengaruhi oleh hamburan foton dan atenuasi. Nilai gL(r)) didefinisikan sebagai:
Interpolasi secara matematis fungsi dosis radial dapat dilakukan dengan membuat grafik polinomial derajat 5. Interpolasi tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi nilai gL pada jarak (r) tertentu.
Parameter a0 sampai dengan a5 harus ditentukan, dan kesalahannya paling tidak sekitar ±2% [6].

5. Fungsi Anisotropi, F(r,θ)
Gambar 2. Posisi sumber dan sudut yang digunakan untuk analisis anisotropi
Fungsi anisotropi merupakan anisotropi distribusi dosis disekitar sumber yang dipengaruhi oleh absorpsi dan hamburan dalam medium, selain itu juga dipengaruhi oleh geometri sumbernya. Fungsi anisotropi untuk 2D, F(r,θ), didefinisikan sebagai [6]:


Sumber brakiterapi HDR Ir-192 Mikroselektron Klasik dalam klinis menggunakan TPS tertentu yaitu TPS PLATO. Fungsi anisotropi yang dipakai dalam TPS PLATO seperti tampak pada Tabel 1. Dari tabel tersebut terlihat bahwa kalkulasi anisotropi PLATO tidak mencantumkan jarak r dan hanya berupa fungsi F(θ).

Tabel 1. Fungsi anisotropi F(θ) yang digunakan dalam TPS PLATO [11]
6. Variasi Posisi / Jarak Sumber pada Distribusi Dosis.
Resolusi posisi sumber pada pesawat HDR remote afterloading didefinisikan sebagai jarak pergeseran atau interval sumber radioaktif saat iradiasi, dan interval minimum yang dapat diset dalam TPS adalah 1,0 ataupun 2,5 mm. Jarak sumber divariasikan untuk memperoleh distribusi isodosis yang optimal. Vendor biasanya menyediakan TPS dengan optimisasi algoritma untuk memfasilitasi bentuk distribusi isodosis.

Dengan fitur ini, sistem HDR merupakan jenis brakiterapi yang dapat memberikan optimisasi distribusi isodosis untuk mencapai homogenitas dosis optimal. Namun, karena kurangnya data dosimetri dan banyaknya pilihan yang tersedia untuk interval sumber dan waktu yang diperlukan sumber tinggal dalam posisinya, menjadikan proses yang sederhana dalam pemilihan tersebut untuk kondisi iradiasi tertentu dapat berubah menjadi lebih kompleks dan membingungkan. Sehingga akhirnya hanya memilih berdasarkan perkiraan. Pemilihan posisi sumber secara manual dengan perkiraan dapat mengakibatkan tidak tercapainya distribusi isodosis dan/atau tidak tercapai homogenitas dosis untuk terapi [12].

Kesimpulan
1. Setiap jenis sumber radioaktif yang digunakan dalam brakiterapi harus memiliki data parameter distribusi dosis, seperti: kekuatan kerma udara, konstanta laju dosis, fungsi dosis-radial, dan fungsi anisotropi.
2. dari data tersebut dapat digunakan untuk memperoleh distribusi dosis multi sumber dengan variasi jarak antar sumber dalam medium air.
3. Data parameter distribusi dosis tersebut dapat digunakan sebagai bahan pembanding dengan data yang ada dalam TPS.

Semoga Bermanfaat...

Pustaka
  1. International Commission on Radiological Protection (ICRP), 2005, “Prevention of High-Dose-Rate Brachytherapy Accidents”, ICRP Publication 97, Annals of the ICRP Volume 35 Issue 2, Hal. 1-52. Elsevier. 
  2. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), 2013, “Data Perizinan B@LIS (BAPETEN Licensing and Inspection System) Online”, 1 Juli 2013, Jakarta. 
  3. R. Nath, L. L. Anderson, K. J. A. Meli, A. J. Olch, J. A. Stitt, and J. F. Williamson, 1997, ‘‘Code of practice for brachytherapy physics: Report of the AAPM Radiation Therapy Committee Task Group No. 56’’, Med. Phys. 24, 1557–1598, Am. Assoc. Phys. Med. 
  4. Kumar R., et al., 2008, “A Dose Verification Method for High-Dose-Rate Brachytherapy Treatment Plans”, Journal of Cancer Research and Therapeutics (JCRT) Volume 4 Issue 4, Hal. 173-177, Medknow Publications And Media Pvt. Ltd., India. 
  5. American Association of Physicists in Medicine (AAPM), 1995, “Dosimetry of Interstitial Brachytherapy Sources”, AAPM Report No. 51, Report of AAPM Radiation Therapy Committee Task Group (TG) 43, American institute of Physics. 
  6. American Association of Physicists in Medicine (AAPM), 2004, “Update of AAPM Task Group No. 43 Report: A revised AAPM protocol for brachytherapy dose calculations”, AAPM Report No. 84, Report of AAPM Radiation Therapy Committee Task Group (TG) 43, American institute of Physics.
  7. Edward C. Halperin, Carlos A. Perez, Luther W. Brady, 2008, “Perez and Brady's Principles and Practice of Radiation Oncology”, 5th Edition, Lippincott Williams & Wilkins, United States of America.
  8. C. K. Bomford, I. H. Kunkler, 2003, “Walter & Miller's Textbook of Radiotherapy: Radiation Physics, Therapy & Oncology”, 6 edition, Churchill Livingstone, London, England.
  9. American Association of Physicists in Medicine (AAPM), 1987, “Specification of Brachytherapy Source Strength”, AAPM Report No. 21, Report of AAPM Task Group No. 32, American institute of Physics.
  10. Ruqing Wang and Ron S. Sloboda, 1998, “Monte Carlo dosimetry of the VariSource high dose rate 192Ir source”, Med. Phys. 25 .(4)., April 1998, Am. Assoc. Phys. Med.
  11. Yeung, F., 1996, “Aspects of Dose Computation in HDR Stepping Source Dosimetry”, Proceedings of the 1st Far East Radiotherapy Treatment Planning Workshop, page 53 – 60, Nucletron-Oldelft, The Netherlands.
  12. CHENG B. SAW, et al., 1996, “Dose Volume Assessment of High Dose Rate Ir-192 Endobronchial Implants”, I. J. Radiation Oncology Biology Physics Volume 34, Number 4, Elsevier Science Inc., USA.
LihatTutupKomentar